Energi Nuklir dan Arah Baru Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Oleh: Andra Dihat Putra, S.Kom., FMVA. Economics and Innovation Policy Analyst.
PANGKALPINANGPOST.COM – Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar delapan persen pada 2029, sebuah ambisi yang berani dan realistis jika disertai transformasi struktural dan kebijakan energi yang kuat. Di tengah kebutuhan pasokan listrik yang stabil, energi nuklir kini menempati posisi penting dalam strategi nasional. Proyek pembangkit listrik tenaga nuklir berkapasitas 500 megawatt dengan nilai investasi sekitar 61,7 triliun rupiah yang ditargetkan beroperasi pada 2032 menjadi simbol perubahan paradigma: bahwa Indonesia siap masuk ke era energi berteknologi tinggi.
Nuklir bukan sekadar proyek infrastruktur, melainkan investasi jangka panjang dalam kemandirian energi dan stabilitas ekonomi. Kajian dampak pembangunan energi baru terbarukan menunjukkan potensi penciptaan nilai tambah dan efek pengganda yang signifikan. Dengan investasi ganda dari rata-rata proyek energi konvensional, PLTN 500 megawatt diperkirakan memberi kontribusi hingga 150 sampai 180 triliun rupiah dalam lima tahun fase konstruksi. Meski secara langsung menyumbang sekitar setengah persen dari total pertumbuhan tahunan, dampak tidak langsungnya terhadap industri, rantai pasok, dan inovasi teknologi jauh lebih luas.
PLTN juga menawarkan stabilitas yang menjadi fondasi pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Dengan kapasitas operasi berkelanjutan selama 24 jam, PLTN dapat menjadi tulang punggung bauran energi nasional yang semakin dipenuhi sumber intermiten seperti surya dan angin. Peran ini sangat penting karena tanpa pasokan baseload yang andal, ekspansi energi terbarukan akan menghadapi kendala teknis dan ekonomi. Kehadiran nuklir justru memperkuat sistem ketenagalistrikan nasional dan memberi ruang bagi transisi energi yang lebih terukur.
Biaya pembangunan yang besar sering menjadi sorotan, tetapi perlu dilihat dalam konteks investasi strategis. Biaya pembangkitan listrik nuklir sekitar 5,36 sen dolar Amerika Serikat per kilowatt jam masih kompetitif dibandingkan energi biomassa. Dengan kemajuan teknologi reaktor modular kecil dan efisiensi rantai pasok, biaya ini berpotensi turun seiring waktu. Selain itu, stabilitas operasional dan umur pembangkit yang panjang membuat nilai keekonomiannya unggul dibandingkan sumber energi intermiten dengan durasi hidup sistem yang lebih pendek.
Perbandingan dengan energi terbarukan harus ditempatkan secara rasional. Energi surya dan angin memang menawarkan biaya awal yang semakin murah, tetapi masih memerlukan sistem penyimpanan energi dalam skala besar untuk menjaga kontinuitas pasokan. PLTN hadir bukan untuk menggantikan, melainkan melengkapi. Keduanya dapat berjalan sinergis: energi terbarukan mengurangi emisi, sedangkan nuklir menjaga kestabilan sistem. Dalam jangka panjang, kombinasi ini akan menciptakan bauran energi yang tangguh dan berkelanjutan.
Isu ketergantungan impor bahan bakar perlu dilihat secara proporsional. Walaupun cadangan uranium domestik terbatas, diversifikasi sumber impor dan kerja sama teknologi dengan negara mitra dapat mengurangi risiko pasokan. Sejumlah negara seperti Kanada, Kazakhstan, dan Australia memiliki hubungan dagang yang stabil dengan Indonesia, sehingga ketergantungan ini lebih bersifat strategis daripada politis. Di sisi lain, pengembangan teknologi daur ulang bahan bakar dan pemanfaatan thorium dalam jangka panjang membuka peluang bagi kemandirian energi yang lebih besar.
Dari perspektif pembangunan ekonomi, kehadiran PLTN menciptakan efek berganda pada berbagai sektor. Peningkatan permintaan pada sektor industri, konstruksi, dan manufaktur akan memicu pertumbuhan lapangan kerja berkualitas. Selain itu, penguasaan teknologi tinggi akan memperluas kapasitas riset nasional dan memperkuat daya saing sumber daya manusia. Seperti yang terjadi di Korea Selatan dan Prancis, pengembangan nuklir dapat menjadi katalis transformasi industri berteknologi tinggi.
Kesiapan regulasi menjadi prasyarat agar potensi ini terwujud. Pemerintah telah menunjukkan langkah awal dengan percepatan evaluasi tapak oleh BAPETEN dan pembahasan pembentukan NEPIO sebagai lembaga koordinatif. Revisi undang-undang ketenaganukliran yang telah berusia lebih dari dua dekade juga perlu segera diselesaikan agar Indonesia memiliki kerangka hukum yang sesuai dengan standar internasional. Langkah ini bukan hanya tentang kepatuhan, tetapi juga tentang membangun kredibilitas dan kepercayaan publik.
Pertumbuhan ekonomi delapan persen memerlukan lebih dari sekadar ekspansi konsumsi dan investasi jangka pendek. Ia menuntut fondasi struktural yang kuat, salah satunya ketersediaan energi bersih, stabil, dan kompetitif. Nuklir bukan satu-satunya solusi, tetapi bagian penting dari ekosistem kebijakan energi yang lebih besar. Jika dikelola dengan baik, ia tidak hanya membantu mencapai pertumbuhan, tetapi juga menjamin keberlanjutan ekonomi Indonesia dalam beberapa dekade mendatang.
Ambisi nuklir 2032 bukan sekadar proyek teknologi, tetapi pernyataan kesiapan bangsa untuk memasuki era energi modern. Keberhasilan Indonesia dalam menjalankannya akan menandai lompatan peradaban, memperkuat kemandirian energi, dan membuka ruang bagi ekonomi inovatif yang berkelanjutan. Jika ada waktu untuk bertaruh pada teknologi yang mampu mengubah masa depan, maka waktunya adalah sekarang. (Publisher: KBO Babel)