Take a fresh look at your lifestyle.

PLTN dan Masa Depan yang Lebih Terang

Oleh: Faidatul Hikmah, Mahasiswa Magister Hukum Universitas Bangka Belitung, penulis dan pembelajar.

0 3

PANGKALPINANGPOST.COM Di negeri yang bisa ribut soal telur ayam vs telur bebek dan percaya bahwa kipas angin bisa menyebabkan masuk angin, dan debat panjang soal “lebih enak sambal terasi atau sambal bawang”, wajar jika pembahasan isu tentang Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN)  ikut terseret drama nasional dan tentu saja tidak pernah sederhana.

Begitu kata “nuklir” muncul, imajinasi sebagian masyarakat langsung berlari ke arah adegan film fiktif—radiasi, monster mutan, sampai nelayan pulang dari laut dengan ikan bercahaya.

Padahal di balik drama dan ketakutan tersebut, ada satu kenyataan yang pelan-pelan mulai disadari dunia: masa depan energi bersih dan stabil kemungkinan besar akan bertumpu pada teknologi nuklir.

Antara Logika dan Luka Kolektif Masa Lalu

Baik, mari kita jujur: kata “nuklir” memang punya reputasi campur-aduk. Ya, sejarah nuklir tidak steril dari tragedi, Hiroshima, Chernobyl, dan Fukushima. Seolah-olah daftar itu cukup untuk mengubur potensi teknologi yang sama dalam menyediakan listrik murah, stabil, dan bersih. Tapi begini: kita hidup di zaman ketika, Pesawat lebih aman dari naik motor di jalanan rusak, Mobil listrik mulai menggantikan bensin, Dan robot sudah bisa melamar kerja jadi customer service.

Tapi bayangkan, jika manusia berhenti membangun kapal setelah Titanic tenggelam, atau menolak pesawat karena kecelakaan Wright Brother pertama.

Teknologi berevolusi. Pengetahuan berkembang dan memperbaiki kesalahan. Tetapi ketakutan publik sering tertinggal—terjebak pada kejadian puluhan tahun lalu, tanpa melihat kemajuan sistem keselamatan nuklir generasi baru. Jika kita menolak PLTN hanya karena trauma masa lalu dunia, itu sama seperti menolak naik kapal karena pernah dengar cerita Titanic. Hari ini, generasi reaktor baru dirancang dengan fitur keselmatan pasif, standar IAEA semakin ketat dan hingga negara muslim sampai Eropa memasukkan energi nuklir dalam strategi energi hijau. Ketakutan masa lalu memang berat, tapi masa depan tidak bisa disandera dengan trauma.

“Tapi Bukannya Nuklir Berbahaya?” Pertanyaan ini wajar. Bahkan sehat. Masalahnya, sering kali informasi yang membentuk ketakutan itu berasal dari sumber seperti Grup WhatsApp keluarga yng sering salah kirim stiker, Komentar TikTok yang lebih percaya teori konspirasi daripada riset ilmiah, Atau teman sekampus yang nonton dokumenter setengah episode tapi langsung jadi ahli nuklir kilat.

Padahal fakta ilmiahnya, PLTN menghasilkan emisi hampir nol, Risiko kecelakaan sangat rendah dengan teknologi modern, Standarnya diawasi badan global seperti IAEA, Banyak negara bertahan hidup dari listrik nuklir tanpa meledak tiap minggu.

Dan untuk yang suka bilang “tapi limbahnya?” — serius, kita bahkan masih mengelola sampah plastik ala kadarnya. Itu bukan alasan untuk menolak teknologi yang negara maju kelola dengan sistem penyimpanan canggih.

Lagi pula, limbah nuklir tersimpan rapi dan dipantau, bukan seperti sampah mie instan yang kita lempar ke sungai lalu terkejut saat banjir datang.

Drama Energi ala Negeri Tropis

Sebagian masyarakat masih berpikir listrik itu datang dari saklar. Padahal di balik saklar itu ada PLTU batu bara, PLTG, PLTA, PLTS, jaringan transmisi, sistem kendali… dan rencana energi yang panjang. Yang lucu, kita sering, Marah kalau listrik padam, Tuntut energi bersih, Nggak mau bayar mahal, Tapi alergi dengar kata PLTN.

Maunya listrik semurah wifi kampus, sebersih hutan Bromo, dan seenak AC kamar kos 18°C. Tapi jalan menuju itu? Kadang malah ditolak hanya karena “katanya bahaya”. Jika logika energi semudah komentar netizen, mungkin panel surya bisa bekerja saat mendung kalau dibentak saja.

Mari tengok fakta global, Amerika, Korea Selatan, dan Perancis sangat bergantung pada nuklir. Cina agresif membangun PLTN baru. Uni Emirat Arab (negara Muslim) sudah punya PLTN Barakah. Uni Eropa memasukkan nuklir sebagai energi hijau.

Kalau dunia sedang lomba membangun teknologi masa depan, jangan sampai Indonesia sibuk debat soal mitos kayak:

“Kalau ada PLTN nanti ayam kampung jadi ayam super?”

Tidak, yang jadi super nanti ekonominya — kalau kita serius mengelola teknologi.

Kenapa Indonesia Perlu Berani?

Listrik bukan hanya soal lampu menyala. Ini soal: Pabrik jalan, Rumah sakit stabil listriknya, Riset teknologi hidup, Industri tumbuh, Harga energi terkendali. Dan ketika energi fosil makin terbatas, sementara energi terbarukan sifatnya intermiten (bergantung cuaca), nuklir hadir sebagai penyeimbang. Indonesia punya potensi uranium dan thorium. Indonesia punya ilmuwan. Indonesia punya visi besar menuju 2045. Kalau semua itu tidak kita pakai, kapan lagi?

Bangsa besar bukan yang paling keras bersuara, tapi yang paling berani berinovasi dengan otak dingin dan data akurat.

Masyarakat Harus Diberi Ilmu, Bukan Ketakutan

Pembangunan PLTN bukan hanya soal teknologi. Ini juga soal komunikasi publik. Masyarakat perlu tahu perbedaannya antara:

PLTN komersial dan senjata nuklir;

Radiasi alami vs radiasi industri;

Insiden historis vs teknologi generasi baru;

Fakta ilmiah vs narasi sensasional;

Kalau edukasi publik kuat, rumor akan kalah oleh pengetahuan. Karena negara maju tidak takut nuklir — mereka takut ketertinggalan.

PLTN bukan jaminan Indonesia langsung menjadi superpower. Tapi menutup diri dari nuklir adalah jaminan bahwa kita tertinggal selangkah dari bangsa yang mau melangkah lebih jauh. Ketika dunia bergerak menuju energi bersih dan stabil, pilihan kita hanya dua, tetap dalam bayang-bayang ketakutan lama atau melangkah dengan keberanian dan ilmu pengetahuan. Nuklir bukan jalan pintas. Tapi ia adalah jalan strategis. Dan bangsa yang ingin cerah masa depannya, tidak memilih jalan karena nyaman — tapi karena benar.

Mari membangun kultur diskusi dan membaca, bukan kultur panik. Indonesia tidak butuh keberanin yang gegabah, tapi keberanian yang berbasis pengetahuan, etika, dan akuntabilitas hukum. Riset bukn rumor, Data bukan drama, dan Masa Depan bukan ketertinggalan. (Red)

Leave A Reply

Your email address will not be published.