Upin Ipin & Kedunguan Pemimpin
Oleh: AHMADI SOFYAN
MENJADI pemimpin, tidaklah cukup berperilaku seperti Upin Ipin, mengundang keceriaan karena tingkah laku dan tutur lisan yang menggembirakan, mengumbar slogan senyuman yang tidak bernilai serta yang paling menjijikkan adalah bertingkah kekanak-kanakkan.
FILM animasi anak-anak yang asal Malaysia yang dirilis sejak 14 September tahun 2007, “Upin Ipin” memang sangat fenomenal dan terkenal di kalangan anak-anak bahkan orang dewasa di Indonesia. Berbagai macam poster, boneka dan produk-produk lainnya menampilkan Upin dan Ipin sebagai nilai jual yang dapat mengumpulkan pundi-pundi nafkah kehidupan.
Popularitas film animasi garapan Haji Burhanuddin dan kawan-kawan ini tidak hanya populer di Negeri Jiran, tapi juga di Indonesia. Hampir setiap yang berkepala botak, apalagi sedang barengan dengan sesama kepala botak, maka spontan orang menggelarinya dengan “Upin Ipin”. Sebab, Upin dan Ipin dalam film animasi itu adalah anak kembar berusia 5 tahun berkepala plontos dengan rambut beberapa lembar di ujung kepala. Upin dan Ipin sangatlah kompak, tak terpisahkan dan selalu mengundang keceriaan, sehingga memiliki banyak teman dari yang sepantaran hingga orang dewasa.
Tapi, menjadi seorang pemimpin, tidaklah cukup berperilaku seperti Upin Ipin, mengundang keceriaan karena tingkah laku dan tutur lisan yang menggembirakan, mengumbar slogan senyuman yang tidak bernilai serta yang paling menjijikkan adalah berperilaku kekanak-kanakkan. Sebab pemimpin itu harus memiliki karakter yang kokoh, kredibilitas, terlebih intergritas, bukan sekedar popularitas apalagi memenuhi isi tas. Menjadi pemimpin itu melulu untuk disenangi, tapi juga harus siap menghadapi kritikan bahkan cacian. Sedangkan pemimpin berprilaku hanya ingin disenangi, cukuplah menjadi Upin Ipin seperti dalam kamera.
Hari ini, terlebih lagi menjelang tahun Politik 2024, akan kita saksikan bersama-sama parade orang-orang yang bakal mencitrakan diri “untuk disenangi”. Baliho dengan slogan gula (manis), wajah yang diedit bak artis, busana yang gagah dengan warna yang mencolok, akan bertebaran sepanjang jalan. Seringkali saya candain, ada politisi yang sudah duduk di Senayan, tidak pernah nampak turun ke tengah masyarakat, tapi balihonya berada disepanjang jalan dan bertebaran dimana-mana. Kepada sang kawan saya sindir, bahwa ia sedang menjalani isi ceramah K.H. Zainuddin MZ yang kalimatnya berbunyi: “Saya tidak kemana-mana, tapi saya ada dimana-mana”. Sang kawan yang mendengar candaan saya itu, tertawa ngakak.
Seorang pemimpin yang tidak berkarakter akan bersikap panik tingkat “dewa” ketika menghadapi persoalan yang bisa merusak pencitraan diri. Sedangkan pemimpin yang memiliki kredibilitas dan integritas, ia tidak akan pernah panik ketika berhadapan dengan masalah. Sebab seorang pemimpin handal bak seorang nakhoda ditengah lautan, yang semakin kokoh dan lihai ketika dihempas gelombang, berhadapan dengan badai, namun tidak terlena ketika hembusan angin sepoi-sepoi dengan suasana alam yang meninabobokan diri.
Kecerdasan, kredibilitas dan ingeritas seorang pemimpin bisa dilihat ketika ia sedang mengalami surut citra diri, menghadapi banyak cacian dan kritikan. Ia akan menunjukkan kedewasaan dan kebijaksanaan serta tidak mencari “kambing hitam” dari persoalan yang dialami. Tapi kalau pemimpin picik, tak memiliki kredibilitas dan integritas, ia akan berusaha mencari dan melempar masalah kepada orang lain, cenderung menghindari masalah bukan menyelesaikan masalah, padahal dirinya sendiri yang membuat masalah. Mengirim orang menutup mulut orang-orang yang dianggap berseberangan, memberi ini dan itu kepada orang-orang yang dianggap kritis (apalagi nilainya cuma 5 sampao 10 jutaan, kecil bangeeet), kirim pasukan untuk intimidasi, rapat untuk usaha kriminalisasi, atur barisan atur strategi menghadapi orang-orang yang mengkritisi, yang kesemua itu adalah karakter pemimpin yang tidak akan pernah mampu memiliki solusi apalagi prestasi kecuali semakin membebankan diri dan menjadi beban bagi negeri. Beginilah kalau karakter Upin dan Ipin menjadi pemimpin. Hanya indah dalam cerita dan ceria dalam kamera, tapi tidak akan pernah ada dalam dunia nyata. Pemimpin seperti ini hanya sekedar hiburan untuk jadi tontonan bukan tuntunan.
Hiruk Pikuk Negeri
WALAUPUN sebagai pemeran utama dalam film animasi tersebut, dalam setiap episode pastinya “Upin Ipin” harus bercengkerama dengan yang lain, seperti Mei-Mei, Jarjit Singh, Ehsan, Fizi, Mail, Susanti, Kak Ros hingga Tok Dalang. Upin dan Ipin pastinya tidak terpisahkan sebab keduanya selalu ada dan bersama, rukun, guyub dan harmoni demi cerita menjadi menarik, apalagi sebagai film animasi anak-anak yang mendidik.
Hiruk pikuk negeri kita hari ini tidak melulu soal politik, tapi ternyata soal perilaku dan ketidakdewasaan pemimpin. Termasuk kekonyolan orang-orang dekat (penjilat), keluarga maupun orang-orang yang menceburkan diri dalam “kedunguan” posisi dan materi. Dalam canda, beberapa kali saya lontarkan bahwa keriuhan negeri hari ini karena tidak akurnya Upin dan Ipin. Upin sebagai pemimpin yang tidak memiliki integritas, tapi menghambakan diri pada popularitas dan sibuk mengisi tas, sedangkan Ipin rakyat jelata yang bertingkah rada-rada gila, ngomong seenaknya, isi kepalanya lumayan ada, lidahnya lancar dan ringan mengeluarkan kata-kata, namun tidak gila dalam posisi dan materi, sehingga Upin bingung mengatasi saudara kembarnya itu.
Sejak beberapa bulan lalu dan terlebih beberapa minggu terakhir ini, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung berbunyi “klontang-klonteng”, riuh dengan berbagai persoalan remeh temeh, dari mulai flexing isteri pejabat, klarifikasi dan investigasi KPK, “maling besar”, “penolakan masyarakat nelayan akan tambang, siswi Paskibraka yang tertukar atau sengaja ditukar, yang sebetulnya tidak butuh untuk diriuhkan atau dihiruk pikuk-kan di negeri ini. Sebab itu masalah sangatlah remeh temeh, tapi sebab kedunguan Upin jadi pemimpin misalnya, serta sebab Ipin, Mail, Ehsan, Fizi yang kritis, ditambah Jarjit Singh yang menjilat agar dapat materi yang memadai, lantas Mei-Mei dan Susanti yang sibuk ngumpulin barang mewah dan flexing, akhirnya persoalan semakin menjadi beban bagi anak negeri.
Kepada kawan seperjalanan ke kebun, saya katakan bahwa Upin bukanlah pemimpin yang baik sebab sangat kekanak-kanakan, sedng Ipin juga tidak layak menjadi pemimpin. Tapi Ipin sadar diri, sehingga ia menyendiri dan keluar dari hiruk pikuk negeri sambil mentertawakan Ipin yang kian panik. Upin hendaknya introspeksi diri dan tidak lagi arogan sebab jabatan hanyalah sesaat, sedangkan Ipin jangan melalui bikin Ipin “ringem” sebagai seorang pemimpin.
“Betul, betul, betul…?? Tuk, Atuuk, ooo Atuk…..!”. begitu kompaknya Upin dan Ipin memanggil dengan penuh keceriaan dan kasih sayang kepada Tok Dalang sehingga negeri mereka nampak damai, tenang, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Sayangnya, itu hanya ada dalam film animasi “Upin dan Upin”.
Salam Upin Ipin!(*)
• Ahmadi Sofyan, dikenal dengan panggilan “Atok Kulop”. Telah menulis lebih dari 80-an judul buku/novel serta 1.000 –an opini “tajamnya” dimuat di berbagai media cetak dan online. Sosok dikenal sebagai pemerhati budaya dan sosial ini banyak menghabiskan waktunya di Pundok Kebun tepi sungai dalam kesunyian belantara, namun tetap memantau perkembangan negeri dan “mentertawakannya”.