Malikul Amjad, Teladan Kesahajaan Urang Kampoeng
Oleh: AHMADI SOFYAN
Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya
PANGKALPINANGPOST.COM || SOSOK murah senyum, ramah, tawanya renyah dan sering memberikan ceramah. Perilaku & ucapannya sederhana nan sahaja. Begitupula dengan isteri dan anak-anaknya. Tidak ada sedikitpun berlagak hebat atau seorang pejabat walau diri adalah Anggota DPRD dan selanjutnya menjadi Wakil Walikota Pangkalpinang.
SEMOGA masyarakat Kota Pangkalpinang tidak pernah lupa, bahwa kita pernah memiliki Wakil Walikota bernama Drs. H. Malikul Amjad. Mengapa saya harus menulis seperti ini? Sebab memang kita yang merasa manusia masa kini, seringkali melupakan manusia masa lalu yang pernah berjasa dan berbuat pada negeri ini. Ketika berbuat sedikit, kita sudah merasa paling berjasa, paling hebat, pelopor, sejarah baru, pertama kali dan pengakuan-pengakuan konyol lainnya.
Bagi orang yang tidak mengerti dipuja dan dipuji, sedangkan bagi yang mengerti, geleng kepala sambil sinis tawa. Persis seperti hikayat tempo doeloe, yang berjudul : “Monyet Makan Buah Manggis”. Karena belum pernah makan buah Manggis, baru gigitan pertama di kulit Manggis, sang monyet pidato kemana-mana, bahwa buah Manggis itu rasanya pahit. Yang belum pernah makan manggis jadi percaya, yang pernah menikmati buah manggis umbar gelak tawa sambil berkata: “Betapa bodoh-nya si Monyet”. Begitulah yang terjadi, bahkan tak jarang karakter Monyet itu adalah seorang pejabat masa kini. Ah, sudahlah!
Malikul Amjad mengawali karier sebagai seorang pendidik yang ternama di Pangkalpinang. Beliau aktif dalam berbagai kegiatan keagamaan dan kerapkali diminta memberikan ceramah agama, bahkan hingga ke pelosok-pelosok kampung di Pulau Bangka. Malikul Amjad pernah menjadi Anggota DPRD Kota Pangkalpinang (1999 — 2004) dan selanjutnya diminta langsung oleh Walikota Pangkalpinang, Zulkarnain Karim untuk menjadi Wakil Walikota pada periode keduanya. Akhirnya jadilah Zulkarnain Karim dan Malikul Amjad terpilih. Malikul Amjad yang memang sudah sangat dikenal masyarakat itu pun menjadi pendamping Pak Zul, sebagai Wakil Walikota periode (2018 — 2013).
Mengenal dan aktif bercengkrama dengan sosok Pak Malikul, meninggalkan kenangan manis dan penuh keceriaan. Karena memang sosok Pak Malikul dikenal sangat humoris dan logat bahasanya sangat kampung sekali. Maklum, memang ia adalah anak kampoeng, tepatnya Payabenua Kecamatan Mendobarat Bangka. Sebagai seorang guru di Pangkalpinang, Pak Malikul memiliki banyak murid dari berbagai daerah di Pulau Bangka dan pergaulannya sangatlah luas. Namun, keperibadiannya sebagai orang kampung tidak berubah dan tetaplah sederhana nan sahaja alias tidak ada gaya “taipau” berlebihan alias “taipau begereng”.
Hobinya main gaple dan juga mancing sebagaimana orang-orang di kampung. Perihal main gaple, saya sendiri pernah main gaple dengan Pak Malikul didalam kamar hotel. Ceritanya cukup lucu sekaligus menegangkan. Saat kami sama-sama menghadiri ijab qabul pernikahan putra bungsu Pak Zulkarnain Karim (Walikota Pangkalpinang) di Jakarta, kawan disamping saya (Muammar) bertanya: “Kemana kita malam ne, Jok?” lantas saya pun menjawab: “Maen gaple!” Tiba-tiba Pak Malikul yang ada disamping saya nyeletuk: “Emang ada buah gaple-nya?” lantas saya pun menjawab: “Ade dong di tas, saya bawak dari pengkal”. “Gile imang ikak ne, Jok!” ujar Pak Malikul sambil terkekeh-kekeh. “Abis sembahyang isya aok kita maen. Di mane main e?” saya pun menjawab: “Di kamar ko lah, di lantai 24” jawab saya. Kami menginap di Hotel Grand Tropic yang kamarnya mirip apartement. Pak Malikul bersama isteri, sedangkan saya satu kamar dengan Walikota Zulkarnain Karim.
Ternyata, selesai sholat Isya, Pak Malikul menelpon. “Jadi dak kite tanding ne?” tanyanya dengan tawa khas yang saya jawab: “Okey. Lah ditunggu dan arena lah siap”. Saya, Muammar dan Wawan sudah berada di kamar yang ditempati saya dan Pak Zul. Tidak lama kemudian Pak Malikul datang dengan senyum khasnya. Pak Zul rada kaget melihat kedatangan Pak Malikul dan ternyata meja sudah disiapkan bersama buah gaple. Kami pun dengan asyik bermain gaple di dalam kamar hotel (diatas meja dapur).
Malam itu, nampak sekali wajahnya Pak Zul sangat kesel melihat aktivitas gila kami, sesekali matanya melirik sambil membaca buku. Pak Malikul pun berbisik: “Kek kena segak Boss kite ne, Jok. Ko lumpat mun disegak nya” kami pun tertawa dan Pak Zul lagi-lagi melirik. “Pokok e Ahmadi lah tanggungjawab mun kite kena segak” ujarnya lagi yang disambut tawa kami. Sebab saya tahu, Pak Zul sangat tidak suka malam itu kami bermain gaple di kamarnya. “Mun Boss gaduh, ko madah bae, yang tua ngulon e”. ujar saya disambut tawa terkekeh-kekeh Pak Malikul. “Akal ka ne memang luar biasa kek meluntang urang”.
Sosok Pendidik. Sebagai seorang guru, begitupula sang isteri tercinta, sosok Pak Malikul sangat berkarakter pendidik. Hal ini mendarah daging dalam kehidupan dan perilaku sehari-harinya. Walau diri sudah menjadi Anggota DPRD Kota Pangkalpinang dan selanjutnya terpilih sebagai Wakil Walikota mendampingi Zulkarnain Karim sebagai Walikota periode kedua, Malikul Amjad tetaplah bersikap dan berperilaku sebagai seorang pendidik. Sikapnya yang tawadhu, santun, bicara tidak menggebu-gebu, adalah karakter Pak Malikul sangat melekat ditengah masyarakat dan murid-muridnya.
Penceramah yang Tidak Pernah Dipanggil Ustadz. Sosok anak Desa Payabenua ini mengawali diri menjadi seorang guru dan penceramah. Dari kampung ke kampung, berbagai acara seringkali mengundang Malikul Amjad sebagai Penceramah. Namun, tidak pernah ia mau dipanggil Ustadz atau Kiyai atau disebut Ulama. Jauh berbeda dengan fenomena masa kini, baru sekali pegang mikropon dan ceramah di hadapan jamaah, langsung harus dipanggil Ustadz, Buya atau Kiyai dan gelar-gelar duniawi yang pada intinya adalah kebutuhan pribadi terhadap pengakuan. Pak Malikul menjadi penceramah bukanlah profesi tempat mencari mata pencaharian, tapi ia diminta masyarakat karena kebutuhan, sedangkan profesi Pak Malikul adalah guru, lalu terpilih jadi Anggota Dewan (1999-2004) dan selanjutnya Wakil Walikota Pangkalpinang (2018 — 2013).
Humoris & Mudah Bergaul. Sosoknya yang humoris membuat Pak Malikul memiliki pergaulan yang luas. Walau diri sebagai seorang pejabat negara, sifat keseharian Pak Malikul tidak berubah, tetap sederhana, bersahaja dan humoris. Ia pun masih tetap sesekali diminta mengisi ceramah atau menjadi Khotib Jumat. Karena pergaulan dan kiprahnya yang baik itulah, Zulkarnain Karim pada periode kedua memimpin Kota Pangkalpinang meminta Pak Malikul untuk berkenan menjadi Wakil Walikota mendampingi dirinya. “Mun Pak Malikul nggak, bini Pak Malikul bae jadi Wakil ko!” kata Pak Zul kala itu.
Kedekatan saya dengan Pak Zul dan Pak Malikul (Walikota & Wakil Walikota) membuat kami seringkali bercanda ria. Pak Malikul paling senang dan tertawa terkekeh-kekeh kalau saya sudah meniru suara Pak Zul saat sedang menelpon atau menerima telpon. Suara baritone atau nge-bass Pak Zul adalah salah satu canda saya dan Pak Malikul. Ketika kami berdua bertelponan, pasti mengawali telpon tersebut dengan meniru gaya Pak Zul. Begitulah keakraban Pak Zul dan Pak Malikul, Walikota, Wakil Walikota dan saya berada ditengah keduanya. Sampai selesai masa jabatan, mereka harmoni, akur, “dak begaduh” karena keduanya pemimpin yang “dak neko-neko”.
Sederhana dan Bersahaja. Pak Malikul dikenal dengan pribadi yang sederhana dan bersahaja. Tidak hanya dirinya, tapi sepengetahuan saya isteri dan anak-anaknya pun demikian adanya. Isteri Pak Malikul adalah seorang guru, tetaplah menjadi guru bersepeda motor walau sang suami adalah pejabat negara. Tdak ada gaya hidup ingin dipuja puji “Tim Mak Erot”, dikelilingi penjilat, sebab orang-orang tahu, kalau itu Walikota dan Wakil Walikota sangatlah susah untuk dijilat dan tidak mencari puja dan puji, sehingga tidak membutuhkan “Tim Mak Erot” yang bertugas membesarkan sesuatu yang kecil. Yang ada saat itu adalah kawan, sahabat, “seperadik” dan masyarakat. Tidak dibiasakan dengan kubu A dan kubu B. Sebab, mereka pemimpin untuk seluruh masyarakat Kota Pangkalpinang, memahami tugas, wewenang dan makna pemimpin adalah untuk semua masyarakat tanpa membuat sekat dan juga tidak anti kritik.
Kesederhanaan hidup dan kesahajaan perilaku Malikul Amjad, isteri dan anak-anaknya adalah bagian dari kenangan manis masyarakat, bahwa kita pernah memiliki pejabat yang berasal dari kampoeng dengan karakter yang menyenangkan. Seringkali saya mendengar, beberapa masyarakat berkata kangen dengan kepemimpinan yang dulu pernah ada. Kritikan bahkan demonstrasi, perang opini di media, tapi kebersamaan tetaplah dinomorsatukan. Kenyamanan sebagai masyarakat masih bisa kita rasakan, kritikan sebagai aktivis ataupun penulis tetaplah berjalan, debat alias “becelekeh” bagian dari romantika pemimpin dengan rakyatnya. Masihkah ini ada dalam kehidupan kita ditengah perbedaan pandangan dianggap musuh dan perlawanan?. “Jangan jadi pemimpin kalau masih bermental cengeng!”.
PERJALANAN hidup manusia pastinya memiliki garis masing-masing. Ada yang besar karena jabatan, karena harta, karena popularitas, karena nasab (keturunan), karena akhlaknya dan ada juga yang besar karena di “Mak Erot”-kan alias dibesar-besarkan. Hidup tanpa prestasi dan karya serta perilaku kebaikan, tidaklah akan dicatat oleh sejarah walau diri pernah ada ditengah kehidupan masyarakat. Pemimpin dan pejabat itu memiliki makna berbeda. Pejabat memiliki masa waktunya, sedangkan pemimpin adalah kepribadian, kemampuan, mental dan jiwa. Ia selalu ada walau tanpa jabatan sekalipun. Sedangkan pejabat belum tentu memiliki mental atau jiwa kepemimpinan.
Malikul Amjad pernah ada dalam kehidupan masyarakat, terutama masyarakat Kota Pangkalpinang. Perjalanan hidupnya bisa menjadi pelajaran dan teladan bagi kita, bahwa semua akan meninggalkan kenangan. Dengan apa orang akan mengingatkan kita kala sudah tiada? pastinya kita berharap karena kebaikan, bukan sekedar pernah duduk jadi ini dan jadi itu. Pak Malikul adalah sinar anak desa yang sukses berkarier di Kota. Sang Guru ini tak pernah bermimpi menjadi pejabat, tapi itu bagian dari perjalanan hidup yang harus dilalui, suka dan duka, riuh dan sepi.
17 Februari 2019, Pangkalpinang berduka, Malikul Amjad bin Abdul Gani meninggal dunia jam 01.30 WIB di kediamannnya di jalan Air Nangka II Kelurahan Keramat Pangkalpinang dalam usia 63 tahun. Beliau disholatkan ribuan jamaah di Masjid Al-Karomah dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Jalan Mentok Pangkalpinang. Sebelum meninggal, Malikul Amjad memiliki cita-cita bersama sang isteri (Hafsoh) untuk membesarkan Pesantren mereka di Desa Payabenua Kecamatan Mendobarat Kabupaten Bangka. Malikul Amjad dan Hafsoh memiliki 2 anak perempuan dan 1 anak laki-laki.
Terima kasih Pak Malikul pernah membersamai masyarakat Kota Pangkalpinang. Semoga apa yang telah engkau ajarkan pada murid-muridmu, pada masyarakat Kota Pangkalpinang menjadi amal ibadah yang akan melapangkan kuburmu dan membawamu ke Sorga-Nya Allah SWT. Kami mengingatkanmu dan bersaksi bahwa Pak Malikul orang baik, teladan kebersahajaan dan kesederhanaan.
Salam Pak Malikul!(*)