DALAM catatan sejarah Indonesia, persoalan agraria dalam hal ini sengketa tanah dan lahan adalah menempati posisi tertinggi dalam berbagai kasus sosial, termasuk sektor maritim.
Persoalan di kawasan maritim hingga saat ini menjadi benang kusut yang jarang selesai dalam jangka waktu singkat. Ini bukan soal masalahnya yang demikian besar tetapi ini soal banyaknya kepentingan di balik sengketa (soal tersebut), sehingga terjadilah tarik-menarik berbagai kepentingan.
Kepentingan di satu pihak oleh pemerintah, dan pihak yang lain adalah pengusaha (korporasi)—sehingga kepentingan rakyat yang terabaikan bahkan rakyat yang jatuh korban.
Fenomena ini terus berlanjut di berbagai daerah, termasuk di Kabupaten Bangka dengan persoalan pendangkalan alur muara sungai Jelitik di kecamatan Sungailiat Kabupaten Bangka, akibat di cabutnya ijin lingkungan atau pengerjaan yang di lakukan oleh PT Pulomas Sentosa yang (mungkin) secara sepihak ijin lingkungannya dicabut oleh pemerintah sehingga pengerukan alur muara sungai jelitik dihentikan.
Penghentian tersebut tentu menimbulkan impack sosial yang cukup besar seperti : (1). Secara geografis, masyarakat di sekitar alur muara tersebut memiliki mata pencaharian sebagai nelayan. Tingkat kehidupan ekonominya sangat di tentukan oleh alam perairan yang kondusif dan bisa memberikan ruang gerak yang besar terhadap nelayan untuk menangkap ikan. Tetapi setelah penghentian pengerukan (pendalaman muara) berdampak secara ekonomi kepada warga masyarakat setempat.
(2).Secara ekonomi, tentu dengan terbatasnya melaut karena adanya faktor X, dalam hal ini terjadinya pendangkalan muara sehingga alat tangkap nelayan seperti kapal/perahu tidak dapat keluar-masuk secara leluasa.
Dalam teori ekonomi sirkulasi instrumen ekonomi sangat menentukan income bagi aktor ekonominya. Sehingga hal ini sangat kontraproduktif dengan kenyataan yang ada akibat pendangkalan alur muara sungai jelitik. Dan bukan itu saja, sebab juga berdampak pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah khususnya pemerintah Daerah Kabupaten Bangka.
(3). Secara sosial dan lingkungan, kedua dampak tersebut diatas tentu sangat memberikan pengaruh terhadap kehidupan sosial di masyarakat. Contoh ; ketika faktor ekonomi terganggu, sudah bisa dipastikan kondisi sosial secara mikro di dalam keluarga juga pasti terganggu. Belum lagi akses negatif terjadinya jumlah anak putus sekolah akibat orangtuanya tak lagi bisa menangkap ikan.
(4). Pelabuhan Perikanan Nusantara Sungailiat (PPNS) itu merupakan subsektor ekonomi maritim yang seharusnya pemerintah lebih punya perhatian yang serius demi kepentingan daerah dan kepentingan masyarakat. Bukan lalu mengedepankan kepentingan politik sehingga terjadilah tarik-ulur tentang pangerukan alur muara. Tentu fenomena ini ketika di baca secara semiotik ; maka (mungkin) bisa di curigai pemerintah membela siapa, tetapi harus mengorbankan siapa.
(5). Dan belum lagi berbagai akses-akses sosial lainnya.
*Fenomena
PT PULOMAS SENTOSA sejak beroperasi dengan bersinergi dengan para nelayan dan berbagai stakeholder yang ada, sebagai perusahaan telah memenuhi tanggungjawab sosialnya (CSR, Corporate Social and Responsibilty).
Hal itu pun diatur dalam Undang-Undang Penanaman Modal, Undang-Undang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Pertambangan, Undang-Undang Lingkungan secara gamblang dan tersurat disebutkan dalam diktum undang-undang tersebut tentang Corporate Social and Responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan.
Hal ini seperti bantuan ke mesjid (rumah ibadah), bantuan kegiatan-kegiatan yang bersifat insidentil, belum lagi bantuan dalam bentuk PKBL dalam hal ini tentang kebersihan lingkungan dan lain sebagainya.
*Merespon
Berdasarkan peraturan pemerintah nomor26 tahun 2023 tentang “Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut” sebagaimana yang terdapat dalam pasal 3 nomor 1 adanya penegecualian pada :
(1). Daerah lingkungan kerja, daerah daerah lingkungan kepentingan pelabuhan, dan terminal khusus.
(2). Wilayah izin usaha pertambangan.
(3). Alur dan pelayaran.
Ketiga point tersebut diatas adalah pengingkaran fakta bagi pemerintah, bila dikaitkan dengan kondisi alur muara sungai Jelitik hari ini. Dalam pendekatan hukum ada yang disebut “In criminalibus probantiones bedent esse luce clariores” yang artinya ; dalam hukum pidana, bukti-bukti harus lebih terang daripada cahaya.
Maka, ketiga hal tersebut yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah adalah fakta yang terabaikan. Respon berikutnya adalah sangat terlihat ketika masyarakat turun melakukan aksi meminta kepastian hukum dari pemerintah terkait nasib nelayan akibat mangkaraknya pengerukan alur muara tersebut.
Mereka tentu tidak secara individu turun ke jalan, tetapi mereka sangat terorganisir karena di dasari kepedulian (empaty), adanya kepentingan bersama. Dan faktanya sudah berganti Gubernur, dan bahkan PJ Gubernur, hingga saat ini belum ada respon dan jawaban positif terhadap tuntutan mereka.
Lebih celaknya adanya wacana lelang untuk pengerjaan alur muara. Ini bisa di asumsikan, bahwa ada kepentingan terselubung pemerintah atau pihak tertentu di balik lelang. Padahal Keberadaan PT. Pulomas Sentosa selama ini cukup dirasakan masyarakat, bukan hanya peningkatan pendapatan masyarakat nelayan tetapi yang lebih penting adalah terbukanya lapangan kerja.
Pertanyaannya adalah kalau di lelang, anggaran darimana, padahal selama ini PT. Pulomas Sentosa memakai dana mandiri untuk melakukan pengerukan tanpa membebani APBN maupun APBD setempat.
Karena itu, polemik ini terus di kawal oleh masyarakat melalui institusi kecil seperti LKPI BABEL Amsal Pattimbangi, Saidil Maulana dari HNSI bangka, HPINS Muhammad Ali, dan beberapa LSM dan komunitas masyarakat lainnya sebagai bentuk kepeduliaan.
*Harapan
Segera mungkin dibangun konteks bersama antara pemerintah, PT. Pulomas Sentosa, dan kelompok masyarakat dalam rangka menemukan solusi terbaik tanpa harus mengorbankan kepentingan banyak orang. “kalau kami orang kecil berjuang dengan cara kami memprotes, maka kalain (pemerintah) berjuang dengan cara memproses—kalau itu jalan, kami akan lalui bersama tanpa kerumitan. “Jazakullah Khaeran Katsira, Wassalamu Aalikum warohmatullahi Wabarokatuh.
Penulis : Sahidil, ST