Oleh : Muhamad Zen
Demokrasi, yang sejak awal diperjuangkan sebagai sistem pemerintahan yang mengutamakan kedaulatan rakyat, kini semakin terancam oleh praktik politik transaksional. Fenomena ini, yang semakin mengakar di berbagai daerah, termasuk Pangkalpinang, menimbulkan paradoks di mana kedaulatan rakyat seolah hanya menjadi slogan kosong.
Ironisnya, kota yang seharusnya menjadi simbol kemenangan rakyat kini terjebak dalam kegelapan manipulasi politik, tempat suara rakyat tidak lagi dihargai.
Politik transaksional telah menjadi hantu yang merasuki hampir setiap sudut kehidupan politik. Di balik senyum dan tawa para elite partai politik dan calon kepala daerah (cakada), tersembunyi kenyataan pahit yaitu pengkhianatan terhadap kedaulatan rakyat.
Tidak sedikit masyarakat yang merasa tertipu oleh proses politik yang melahirkan calon tunggal, di mana pilihan mereka seakan tidak lagi penting.
Demokrasi yang seharusnya memberikan ruang bagi partisipasi aktif masyarakat berubah menjadi panggung pertunjukan para elite yang berkompromi untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Fenomena mahar politik menjadi salah satu bukti nyata bagaimana politik transaksional merusak demokrasi.
Partai politik yang seharusnya menjadi rumah kedaulatan rakyat, tempat aspirasi masyarakat diwadahi dan diperjuangkan, kini berubah menjadi rumah transaksi di mana mahar menjadi objek jual beli.
Fenomena ini bukanlah hal baru, namun semakin mengkhawatirkan ketika praktik ini berlangsung terang-terangan tanpa adanya penegakan hukum yang tegas.
Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, yang telah diubah dengan UU Nomor 10 tahun 2016, dengan jelas melarang partai politik menerima imbalan apapun dalam proses pencalonan kepala daerah.
Namun, kenyataan di lapangan sering kali berkata lain. Mahar politik seolah menjadi bagian dari kesepahaman tak tertulis antara cakada dan parpol untuk menjegal lawan politiknya.
Dalam skenario ini, kedaulatan rakyat kembali terabaikan, dan keputusan politik ditentukan oleh tawar-menawar yang mencederai demokrasi.
Di tengah kondisi ini, masyarakat hanya memiliki satu pilihan ekstrem, yakni memilih kotak kosong jika terjadi praktik borong partai oleh calon tunggal.
Bendera hitam pantas dikibarkan sebagai simbol berkabung atas hilangnya kedaulatan rakyat dalam proses demokrasi yang seharusnya.
Pilihan kotak kosong mungkin terdengar sederhana, namun di balik itu terdapat pesan protes kuat terhadap sistem yang telah kehilangan keadilannya.
Kegagalan penegakan hukum dalam menangani praktik mahar politik juga memperburuk keadaan. Seharusnya, hukum menjadi benteng terakhir yang melindungi kedaulatan rakyat dari tangan-tangan kotor politikus yang haus kekuasaan.
Namun, kenyataannya, penegakan hukum sering kali melemah atau bahkan absen ketika berhadapan dengan praktik-praktik ini.
Ketidakmampuan atau ketidakmauan aparat penegak hukum untuk bertindak tegas terhadap pelanggaran ini semakin membuka ruang bagi merajalelanya politik transaksional.
Paradoks yang terjadi ini tidak hanya merusak integritas demokrasi, tetapi juga mengikis kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik.
Ketika suara rakyat kehilangan arti karena dominasi politik uang dan transaksi kekuasaan, maka kedaulatan rakyat secara perlahan tergerus.
Demokrasi yang sejatinya harus menjadi sistem yang mengutamakan kepentingan umum dan partisipasi aktif masyarakat, berubah menjadi alat bagi segelintir elite untuk mempertahankan kekuasaannya.
Di Pangkalpinang, situasi ini menjadi cerminan bagaimana demokrasi kita semakin rapuh. Kota yang seharusnya menjadi simbol kemenangan rakyat dalam demokrasi justru terpuruk dalam permainan politik kotor.
Para elite partai dan cakada yang seharusnya memperjuangkan aspirasi rakyat, kini lebih sibuk memperdagangkan kekuasaan. Hal ini tidak hanya menghancurkan harapan masyarakat, tetapi juga mengancam masa depan demokrasi itu sendiri.
Masyarakat yang seharusnya memiliki pengaruh dalam proses pembuatan kebijakan kini terpinggirkan dan tidak berdaya.
Keputusan lebih banyak ditentukan oleh kepentingan politik dan transaksi kekuasaan daripada aspirasi rakyat.
Ini adalah pengkhianatan terbesar terhadap prinsip dasar demokrasi, di mana kekuasaan berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Untuk itu, sangat penting bagi masyarakat untuk sadar akan ancaman ini dan berani mengambil sikap. Pilihan kotak kosong mungkin adalah satu-satunya jalan yang tersisa untuk melawan hegemoni politik transaksional dan menunjukkan bahwa kedaulatan rakyat tidak bisa dipermainkan.
Selain itu, penegakan hukum yang tegas dan konsisten harus menjadi prioritas utama untuk menghentikan praktik mahar politik yang merusak.
Demokrasi tidak boleh dibiarkan mati perlahan di tangan para elite yang mengabaikan kedaulatan rakyat.
Kita harus terus memperjuangkan demokrasi yang sejati, di mana suara rakyat benar-benar didengar dan dihargai, bukan hanya sekadar komoditas dalam permainan politik. Jika kita gagal mempertahankan ini, maka kita telah membiarkan demokrasi kehilangan jiwanya dan berubah menjadi alat bagi kekuasaan semata.
Penulis : Muhamad Zen
Aktivis Muda Bangka Belitung yang aktif di dunia jurnalistik, pernah bekerja di sejumlah perusahaan media nasional cetak maupun media online.
Zen juga sering menulis opini, sesekali pria kelahiran lubuk besar 12 Mei 1980 ini juga berceloteh soal politik lokal dan kritik sosial.
Catatan Redaksi :
————————————
Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan atau keberatan dalam penyajian artikel, opini atau pun pemberitaan tersebut diatas. Anda dapat mengirimkan artikel dan atau berita berisi sanggahan atau koreksi kepada redaksi media kami, sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (11) dan ayat (12) undang-undang No 40 tahun 1999 tentang Pers.
Berita dan atau opini tersebut dapat dikirimkan ke Redaksi media kami dengan No telepon sesuai dengan yang tertera di box redaksi.
Terimakasih!!