AKHIR Ramadhan banyak hal yang terjadi. Berbagai peristiwa tidak mengenal waktu, termasuk sejumlah peristiwa sensasional.
Namun, sebelumnya saya mengucapkan selamat hari raya Iedul Fitri, minal Aidin wal Faidzin, mohon maaf lahir dan bathin.
Kembali ke hal sensasional tadi. Di provinsi Riau, kampung istri saya, sejumlah wartawan dari Pelalawan yang difasilitasi oleh Ketua DPC PJS Pelalawan, Pranseda Simanjuntak bertanya, apakah seorang kepala Desa bisa merangkap jadi wartawan. Karena penasaran dengan jawaban saya, akhirnya para wartawan itu lakukan zoom bertanya soal tugas dan tanggungjawab wartawan.
Wartawan itu Independent.
Saya menjelaskan jika wartawan itu adalah orang yang melakukan tugas jurnalistik secara teratur dan kontinyu (terus menerus). Wartawan adalah profesi, dia bekerja secara profesional. Karya yang dihasilkan sesuai dengan kaidah penulisan jurnalistik dan taat serta tunduk pada UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
Wartawan dalam menghasilkan karya jurnalistiknya, tidak bisa diintervensi oleh siapa pun termasuk pemilik media dimana saudara bekerja.
Sampai disini para wartawan itu menyimak dengan serius. Setelah itu, saya menjelaskan jika wartawan melakukan tugasnya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
Soal ruang dan waktu, saya pernah berkelakar didepan para peserta kursus jurnalistik (CIJ) Certificate Indonesian Jurnalis yang dibawah asuhan CEO Mas Andre dari AR Learning Center Yogyakarta. Sebagai peserta saya diminta memberikan testimoni soal tugas wartawan. Saya mengatakan jika wartawan itu sangat dibutuhkan dimana-mana. Bahkan jika Tuhan berkehendak, wartawan adalah mahluk ciptaan Tuhan yang paling terkahir akan dipanggil saat kiamat tiba nanti. Mengapa demikian?
Karena wartawan akan diminta untuk melakukan liputan terakhir atau bisa juga liputan khusus soal kiamat itu sendiri.
Wartawan akan menceritakan bagaimana awal mula kiamat terjadi meski dirinya tidak akan sempat menulis akhir dari kiamat itu, karena dirinya pun harus dipanggil menghadap sang pencipta.
Soal cerita kepala desa yang merangkap jabatan sebagai seorang wartawan saya katakan bahwa kepada desa itu adalah pejabat publik terdepan di struktur pemerintahan negara kita. Sementara tugas wartawan salah satunya sebagai sosial kontrol terhadap pengambil kebijakan termasuk kepala desa.
Bagaimana mungkin seorang kepala desa yang wajib di kontrol oleh wartawan malah menjadi kontrol terhadap dirinya sendiri. Tidak mungkin seseorang pejabat akan mengontrol dirinya sendiri.
Saya menegaskan tidak ada yang membatasi seseorang ingin menjadi wartawan kecuali dirinya sebagai pejabat publik, ASN, TNI/Polri, LSM serta lainnya termasuk kepala desa. Ini tidak lain untuk menjaga interest pribadi (kepentingan pribadi) dari orang tersebut.
Jika desa ingin mempublikasikan berbagai berita di media online maka silahkan bermitra dengan media yang ada dan memiliki standar yang disarankan oleh Dewan Pers. (Media Standar Dewan Pers simak tulisan saya berikutnya). Atau bisa saja pemerintah desa membuat website sendiri yang bersifat khusus untuk menyebarluaskan informasi di desa. Media ini dikelolah oleh Humas desa yang pemberitaan searah. Manajemen media ini tidak diperkenankan mengeluarkan id card yang bertuliskan PERS. Ini juga berlaku bagi setiap instansi pemerintah bidang Humas yang menjalankan aktivitas pembuatan release internal.
Jadi id card PERS itu hanya bisa digunakan oleh mereka yang bekerja sepenuh waktu sebagai wartawan. Jangan sampai lagi terjadi ada oknum anggota Polisi menyamar menjadi wartawan. Tentu ini sebuah evaluasi besar terhadap kita wartawan dan juga organisasi profesi wartawan di tanah air untuk selektif menerima orang yang ingin menjadi wartawan.**