Ketika Pemberitaan Mengancam Nafkah atau Menutup Rezeki Warga Tembelok Keranggan
Abi Acik: Perlunya Perlindungan bagi Masyarakat Tambang Timah Rakyat
PANGKALPINANGPOST.COM (Bangka Barat) – Di tengah resesi ekonomi yang melanda masyarakat, aktivitas penambangan timah di perairan Keranggan dan Tembelok, Kecamatan Mentok, Bangka Barat, kembali mencuat sebagai topik hangat. Meski sektor ini menjadi tumpuan hidup bagi banyak orang, aksi pemberitaan untuk penutupan kegiatan tambang rakyat yang dilakukan oleh sejumlah oknum organisasi wartawan mengundang menuai kritik dari masyarakat. Senin (7/10/2024).
Dalam beberapa hari terakhir, keberadaan ponton-ponton TI Apung di area tersebut tampak sepi, menggambarkan dampak signifikan dari penutupan yang mengganggu roda ekonomi masyarakat lokal.
Pantauan lapangan pada Minggu (06/10), terlihat puluhan ponton tidak beraktivitas. Keberadaan para penambang, yang biasanya dipenuhi dengan kesibukan dan perahu yang mondar-mandir, kini tergantikan oleh kesunyian.
Kondisi ini semakin diperparah dengan sepinya para pedagang yang biasanya berjualan di tepian pantai, yang kini harus menghadapi kenyataan pahit: kehilangan sumber penghasilan.
Mariani, seorang pedagang yang ditemui di lokasi, mengungkapkan rasa keheranannya.
“Masyarakat (Penambang Rakyat-Red) disuruh stop, karena selalu diberitakan oleh grup oknum wartawan PWI dan timnya. Kenapa mereka senang lihat orang susah?” tanyanya dengan nada putus asa.
Pertanyaan ini mencerminkan frustrasi warga yang merasa terpinggirkan dan dizolimi dalam upaya mencari nafkah.
Tokoh masyarakat Babel, Abi Acik, Ketua Front Jaga Babel, angkat bicara. Ia dengan tegas menyatakan bahwa kawasan Keranggan dan Tembelok bukanlah daerah terlarang.
“Di sini bukan lokasi IUP tambang PT Timah maupun swasta. Ini hak masyarakat setempat,” jelasnya.
Penegasan ini menunjukkan bahwa penambangan yang dilakukan warga adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, bukan tindakan ilegal yang perlu dihentikan.
Abi Acik mengecam keras pemberitaan yang cenderung menekan dan merugikan masyarakat.
Menurutnya, tindakan yang merugikan pencari nafkah adalah tindakan biadab, lebih buruk dari sekadar sifat dengki.
“Manusia yang selalu mengganggu orang lain mencari nafkah itu sifatnya lebih buruk dari sifat dengki,” tegasnya, menunjukkan sikap ketidakpuasannya terhadap pihak-pihak yang mengganggu kehidupan masyarakat.
Lebih jauh, Abi Acik mengajak rekan-rekan media untuk berfokus pada isu-isu yang lebih mendasar dan membantu masyarakat yang sedang kesulitan.
“Jangan usil sama kerjaan orang, apalagi oknum wartawan yang usil itu mempunyai rekam jejak tidak baik, sok bersih, ” sindirnya.
Ia menegaskan bahwa siapapun yang mengganggu rakyat harus dipandang sebagai musuh bersama, mengingat kontribusi penting mereka terhadap perekonomian lokal.
Sejalan dengan pandangan Abi Acik, Ketua Perkumpulan Premis, Cecep Gunawan Gafar, juga mengutarakan ketidakpuasannya terhadap pemberitaan yang dianggap tendensius.
“Jika berita itu berani mengungkap kasus besar seperti bobroknya setoran pajak dari pengusaha di Babel, itu baru berita bagus, jangan masyarakat mau cari yang kalian beritakan, jangan-jangan kalian ada misi atau kepentingan disana,” ungkapnya.
Ia menekankan pentingnya menyoroti isu yang lebih substansial daripada mengganggu masyarakat yang hanya berusaha mencari nafkah.
Cecep mengajak semua pihak untuk bekerja sama dalam memberikan dukungan kepada masyarakat, bukan malah menghambat mereka.
“Kalau masih usil sama gawe orang, saya siap didepan, saya akan cari orang itu dan tanya maunya apa,” tegasnya.
Pernyataan ini menunjukkan komitmen mereka untuk melindungi hak masyarakat dalam berusaha, dan menekankan perlunya solidaritas di antara mereka.
Kondisi ini mencerminkan dinamika yang kompleks antara kebutuhan ekonomi masyarakat dan upaya pengawasan lingkungan.
Di satu sisi, masyarakat lokal sangat bergantung pada penambangan untuk kehidupan sehari-hari.
Di sisi lain, perhatian terhadap kelestarian lingkungan harus tetap menjadi prioritas. Namun, pendekatan yang lebih bijak dan kolaboratif diperlukan untuk menemukan keseimbangan yang tepat.
Dengan latar belakang ini, jelas bahwa tantangan yang dihadapi masyarakat Keranggan dan Tembelok bukan hanya soal penambangan itu sendiri, tetapi juga tentang bagaimana membangun kesadaran kolektif untuk saling mendukung, sambil tetap memperhatikan keberlanjutan lingkungan.
Media, organisasi, dan pemerintah perlu berkolaborasi untuk menciptakan solusi yang tidak hanya mendukung pertumbuhan ekonomi tetapi juga menjaga kelestarian alam. (Tim)